SWBB Sulit Dapatkan Peserta Program Buta Aksara
Salah satu tantangan yang dihadapi dalam memberantas buta aksara adalah calon peserta umumnya enggan mengikuti pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (Calistung) yang ditawarkan kepada mereka. Pengalaman yang dihadapi anggota Krida Saka Widya Budaya Bakti Kabupaten Gowa ketika melakukan pendataan warga buta aksara merupakan tantangan menarik dalam upaya memberantas buta aksara.
Pamong Saka Widya Budaya Bakti (SWBB) Kabupaten Gowa, Sabri M.Pd, pada Pelatihan Daring Teknik Keaksaraan bagi Krida Dikmas Saka Widya Budaya Bakti (SWBB) secara virtual, Selasa (22/9/2020), mengatakan, mereka yang diajak ikut dalam program biasanya menanyakan honor yang akan diterima.
"Karena target program buta aksara adalah warga yang umumnya sudah berumur dan punya kesibukan dalam memenuhi kebutuhan, beragam alasan yang mereka kemukakan untuk menolak," katanya.
Sabri mengatakan, mewujudkan program tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Salah satu contonya adalah, untuk mendapatkan peserta ajar di pendidikan formal lebih mudah dibandingkan dengan mendapatkan peserta ajar di program pemberantasan buta aksara ini.
"Pendidikan formal mudah terima anggota baru, sementara di program ini agak kesulitan mendapatkan peserta ajar," kata Sabri.
Kalau di pendidikan keaksaraan, lanjut Sabri, motivasi belajarnya tidak sebesar dibandingkan pendidikan formal. Sebab orang dewasa yang menjadi sasaran peserta belajar umumnya tidak mau diajar lagi. Sehingga perlu strategi khusus agar bisa masuk dalam komunitas mereka menjalankan program pemberantasan buta aksara.
Sabri memberi contoh temuan di lapangan. Ada tiga orang dilibatkan dalam tiga model. Saat diminta ikut pembelajaran, tidak ada yang bersedia. Mereka hanya mau ikut kalo ada imbalannya.
"Program selalu diidentikkan ada dana. Mereka umumnya menganggap kalau ada kegiatan ada dananya. Ini tantangannnya," kata Sabri.
Dalam kaitan ini perlu kiat khusus agar bisa membelajarkan mereka. Setidaknya bisa mengetahui tiga kata saja, atau bisa berhitung dari 1 hingga 1000.
"Bisa juga minta bantuan kepala desa atau kepala dusun untuk menggugah warga. Karena bantuan yang ada dananya biasanya melalui perangkat desa," katanya.
(Sumber Berita: Rusdi Embas)
Pamong Saka Widya Budaya Bakti (SWBB) Kabupaten Gowa, Sabri M.Pd, pada Pelatihan Daring Teknik Keaksaraan bagi Krida Dikmas Saka Widya Budaya Bakti (SWBB) secara virtual, Selasa (22/9/2020), mengatakan, mereka yang diajak ikut dalam program biasanya menanyakan honor yang akan diterima.
"Karena target program buta aksara adalah warga yang umumnya sudah berumur dan punya kesibukan dalam memenuhi kebutuhan, beragam alasan yang mereka kemukakan untuk menolak," katanya.
Sabri mengatakan, mewujudkan program tersebut tidak semudah yang dibayangkan. Salah satu contonya adalah, untuk mendapatkan peserta ajar di pendidikan formal lebih mudah dibandingkan dengan mendapatkan peserta ajar di program pemberantasan buta aksara ini.
"Pendidikan formal mudah terima anggota baru, sementara di program ini agak kesulitan mendapatkan peserta ajar," kata Sabri.
Kalau di pendidikan keaksaraan, lanjut Sabri, motivasi belajarnya tidak sebesar dibandingkan pendidikan formal. Sebab orang dewasa yang menjadi sasaran peserta belajar umumnya tidak mau diajar lagi. Sehingga perlu strategi khusus agar bisa masuk dalam komunitas mereka menjalankan program pemberantasan buta aksara.
Sabri memberi contoh temuan di lapangan. Ada tiga orang dilibatkan dalam tiga model. Saat diminta ikut pembelajaran, tidak ada yang bersedia. Mereka hanya mau ikut kalo ada imbalannya.
"Program selalu diidentikkan ada dana. Mereka umumnya menganggap kalau ada kegiatan ada dananya. Ini tantangannnya," kata Sabri.
Dalam kaitan ini perlu kiat khusus agar bisa membelajarkan mereka. Setidaknya bisa mengetahui tiga kata saja, atau bisa berhitung dari 1 hingga 1000.
"Bisa juga minta bantuan kepala desa atau kepala dusun untuk menggugah warga. Karena bantuan yang ada dananya biasanya melalui perangkat desa," katanya.
(Sumber Berita: Rusdi Embas)